MENJAMA’ SHALAT BAGI PENGANTEN
Latar Belakang Masalah
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditegakan oleh setiap muslim pada waktu yang telah ditetapkan Allah & rasulNya. Allah,s.w.t berfirman:” Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban bagi setiap mukmin yang telah ditentukan waktunya”(surat al-Anbiya’; 103). Shalat tetap mesti dilaksanakan baik saat muslim menetap (muqim) di suatu daerah maupun ketika dia bepergian jauh (bersafar). Ketika seorang muslim menetap di suatu daerah terkadang dia dihadapkan pada suatu situasi yang memaksanya tidak dapat mendirikan shalat tepat pada waktu yang telah ditetapkan, seperti ketika dia sedang bersanding menjadi pengantin saat pesta perkawinan. Baik penganten laki-laki maupun perempuan, dihias sedemikian rupa oleh juru hias profesonal dengan memberi make up pada wajahnya, memasang perhiasan di kepala (sunting) dan baju serta berbagai pernik-pernik lainnya. Pada saat seperti itu penganten tidak dapat mendirikan shalat zhuhur, asar, magrib dan isya tepat pada waktunya, karena bila mau melakukan shalat, mereka harus berwudhu dan mengganti pakian penganten dengan pakaian biasa. Setelah itu dia mesti dihias kembali oleh juru hias yang memakan waktu lebih dari satu jam. Kondisi seperti tu menyusahkan bagi kedua penganten dan juga menyulitkan juru hias serta menghabiskan banyak alat-alat kecantikan (kosmetika). Islam adalah agama yang memberikan kemudahan kepada seluruh pemeluknya, juga memberi keringanan (rukhshah) bila ada halangan-halangan (udzur) yang dibenarkan oleh syari’at.
Rumusan masalahan
Beberapa masalah dapat dimunculkan dari kondisi seperti itu misalnya, dalam situasi seperti itu bolehkah penganten menjama’ shalatnya ? apakah kesulitkan memberi make up pada kedua penganten dapat dianggap sebagai salah satu rukhshah syar’iyah (keringanan yang dibolehkan syari’at )?
Pembahasan
Menjama’ shalat dibolehkan bagi orang yang dalam perjalanan (musafir) berdasarkan hadis-hadis Nabi Muhammad,s.a.w, diantaranya:
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان في غزوة تبوك إذا إرتحل قبل أن تزيغ السمش أخر الظهر حتى يجمعها إلى العصر فصليهما جميعا وإذا إرتحل بعد زيغ السمش صلى الظهر والعصر جميعا ثم سار, وكان إذا إرتحل قبل المغرب أخر المغرب حتى يصليها مع العشاء وإذا إرتحل بعد المغرب عجل العشاء فصلاها مع المغرب (رواه أبو داود )
Artinya:” Sesungguhnya nabi Muhammad,s.a.w ketika perang Tabuk, jika beliau melakukan perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat zuhur sehingga dijama’ (digabungkan) dengan ashar pada waktu ashar, jika melakukan perjalanan setelah matahari tergelincir, beliau mendirikan shalat zuhur digabungkan (dijama’) dengan ashar pada waktu zuhur; jika melakukan perjalanan sebelum waktu magrib, beliau mengakhirkan magrib sehingga dijama’ dengan isya pada waktu isya, bila bepergian setelah masuk waktu magrib, beliau menjama’ magrib dengan isya dilakukan pada waktu magrib.(Riwayat Abu Daud).
Berdasarkan hadis di atas dapat diketahui bahwa shalat yang boleh dijama’ adalah zuhur dengan ashar, maghrib dengan isya. Bila zhalat zuhur dijama’ dengan asar pada waktu asar disebut jama’ ta’khir; bila shalat asar dijama’ dengan zuhur dan dilakukan pada waktu zuhur, disebut jama’ taqdim. Adapun shalat subuh, tidak boleh dijama’ dengan yang shalat yang lain, tetapi mesti dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan. Abdurrahman al-Jazairy menjelaskan dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-arba’ah halaman 483, vol:I, dia berkata:
أما الصبح فإنه لا يصح فيه الجمع على إي حال
Artinya: adapun shalat subuh tidak dapat dijama’ dengan shalat apapun dalam keadaan bagaimanapun
Hadis dari Ibnu Abbas, r.a. yang diriwayatkan oleh imam Muslim:
جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف و لا مطر , وفي حديث وكيع قال : قلت لابن عباس لم فعل ذلك ؟ قال: كي لا يحرج أمته وفي حديث أبي معاوية قيل لابن عباس :ما أراد ذلك ؟ قال : أراد أن لا يحرج أمته (رواه مسام)
Artinya:” Rasulullah, s.a.w menjama’ antara shalat zuhur dan ashar, antara shalat magrib dan isya di Madinah tanpa ada rasa takut dan tidak pula hujan lebat, dalam hadis dari Waki’ dikatakan bahwa Ibnu Abbas ditanya : mengapa Nabi melakukan hal itu? Ibnu Abbas menjawab: agar tidak menyusahkan umatnya. Dalam riwayat Abi Mu’awiyah diberitakan bahwa Ibnu Abbas ditanya: apa maksud nabi melakukan hal itu? Ibnu Abbas menjawab: Nabi bermaksud agar tidak menyulitkan umatnya (Riwayat Muslim).
Berdasarkan hadis ini dapat diketahui bahwa menjama’ shalat tidak hanya dibolehkan bagi musafir, tetapi orang yang menetap di suatu daerah (muqim) dibolehkan juga menjama’ shalatnya. Kareana nabi menjama’ shalat ketika menetap di Madinah tanpa ada uzur /halangan, tanpa ada rasa takut, atau hujan lebat. Dalam hadis riwayat at-Turmudzi disebutkan ungkapan “bila khaufin wa La maradhin wa La mathor” (tanpa ada rasa takut, tidak sakit dan tidak hujan lebat). Namun hadis ini dinilai tidak shahih oleh imam at-Turmudzi dalam komentarnya dia menyebut satu hadis lagi “ siapa yang menjama’ shalat tanpa ada uzur/ halangan seperti sakit, takut dan hujan lebat, sungguh dia telah menlakukan suatu dosa besar “ (man jama’a ash-shalat bighairi uzurin wa la maradhin wa la khaufin fa qod ata baban min abwabil kaba-ir).
Oleh sebab itu para ulama sepakat berpendapat bahwa orang muqim boleh menjama’ shalat bila ada uzur syar’iy (halangan yang dibenarkan oleh syari’at) seperti sakit, hujan lebat, rasa takut.
Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa jilid XXIV hslsmsn 20 menyatakan:
فالاحاديث كلها تدل على أنه جمع قي الوقت الواحد لرفع الحرج عن أمته فيباح الجمع لإذا كان في تركه حرج قد رفعه الله عن أمته وذلك يدل على الجمع للمرض الذي يحرج صاحبه بتفريق الصلاة بطريق الاولى والاخرى , و يجمع من لا يمكنه إكمال الطهارة في الوقتين إلا بحرج كالمستحاضة وأمثال ذلك من الصور
وإن الجمع ليس من سنة السفر بل يفعله للحاجة سواء كان في السفر أو في الحضر فإنه قد جمع أيضا لئلا يحرج أمته
Artinya: Semua hadis tentang menjama’ shalat menunjukkan bahwa nabi Muhammad.s.a.w menjama’ shalat di dalam satu waktu dengan tujuan menghilangkan kesulitan dari umatnya. Jadi, menjama’ dua shalat itu dibolehkan bila dengan tidak menjama’ mengakibatkan kesulitan bagi umatnya, padahal kesulitan itu telah diangkatkan oleh Allah. Hal ini berarti, orang sakit yang mengalami kesulitan bersuci pada setiap waktu .bila tidak menjama’ shalat nya, maka dia boleh menjama’ shalat walaupun tidak dalam perjalanan (musafir) seperti perempuan yang mengalami keluar darah istihadhoh, dsb. Sesungguhnya menjama’ shalat bukan hanya sunnah bagi musafir saja, tetapi dilakukan karena ada kebutuhan penting(mendesak) , baik ketika sedang safar maupun ketika menetap di suatu daerah (muqim). Nabi Muhammad,s.a.w telah melakukan hal itu adar tidak menyusuahkan umatnya.
Berdasarkan hadis-hadis tentang menjama’ shalat dpat dikatakan bahwa ‘illat (alasan rasional) dibolehkannya menjama’ adalah karena adanya kesulitan. Bila ada kesulitan , maka dia sana boleh dilakukan menjama’ shalat walaupun tidak dalam perjalanan. Abu bakar al-Jazairi mengatakan: ‘Illat dibolehkannya jama’ karena da kesulitan, dimana ada kesulitan, boleh menjama’ dua shalat dalam satu waktu :
علة الجمع هي المشقة فمتى حصلت المشقة جاز الجمع
Penganten yang sedang bersanding saat pesta perkawinan tidak dibolehkan menjama’ shalatnya, karena pesta perkawinan tidak termasuk uzur syar’iy (alasan yang dibolehkan menurut syari’at) seperti karena sakit, hujan lebat, angin puting beliung. Apalagi kalau diperhatikan banyaknya tradisi pesta perkawinan yang keluar dari aturan syari’at seperti mempertontonkan aurat wanita, baik penganten perempuannya ketika bermake up atau saat bersanding mengenakan gaun yang tipis dan merangsang, berfoto berdua seperti suami-isteri pra nikah yang pamerkan, atau penyanyi wanita yang tampil dalam pesta itu dengan pakaian yang tidak sopan, lagu-lagu yang ditampilkan juga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini bertentangan dengan surat al-Ahazab; 33; “..Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu”.
Nabi bersabda seperti diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban:
من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا لعذر
Artinya:” Siapa saja yang mendengar seruan azan, tetapi dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bila ada uzur (halangan syar’iy).
Menjama’ shalat merupakan keringanan (rukhshoh) yang diberikan Allah dan rasulnya, keringan itu tidak boleh diberikan kepada perbuatan maksiat, sesuai dengan kaedah:
الرخصة لا تناط بالمعاصى
Artinya; Keringanan (rukhshoh) tidak boleh dilekatkan pada hal-hal yang maksiat.
Kesimpulan: Penganten tidak boleh menjama’ shalatnya.
لا يجوز جمع الصلاوات لكون أحد عروشا
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditegakan oleh setiap muslim pada waktu yang telah ditetapkan Allah & rasulNya. Allah,s.w.t berfirman:” Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban bagi setiap mukmin yang telah ditentukan waktunya”(surat al-Anbiya’; 103). Shalat tetap mesti dilaksanakan baik saat muslim menetap (muqim) di suatu daerah maupun ketika dia bepergian jauh (bersafar). Ketika seorang muslim menetap di suatu daerah terkadang dia dihadapkan pada suatu situasi yang memaksanya tidak dapat mendirikan shalat tepat pada waktu yang telah ditetapkan, seperti ketika dia sedang bersanding menjadi pengantin saat pesta perkawinan. Baik penganten laki-laki maupun perempuan, dihias sedemikian rupa oleh juru hias profesonal dengan memberi make up pada wajahnya, memasang perhiasan di kepala (sunting) dan baju serta berbagai pernik-pernik lainnya. Pada saat seperti itu penganten tidak dapat mendirikan shalat zhuhur, asar, magrib dan isya tepat pada waktunya, karena bila mau melakukan shalat, mereka harus berwudhu dan mengganti pakian penganten dengan pakaian biasa. Setelah itu dia mesti dihias kembali oleh juru hias yang memakan waktu lebih dari satu jam. Kondisi seperti tu menyusahkan bagi kedua penganten dan juga menyulitkan juru hias serta menghabiskan banyak alat-alat kecantikan (kosmetika). Islam adalah agama yang memberikan kemudahan kepada seluruh pemeluknya, juga memberi keringanan (rukhshah) bila ada halangan-halangan (udzur) yang dibenarkan oleh syari’at.
Rumusan masalahan
Beberapa masalah dapat dimunculkan dari kondisi seperti itu misalnya, dalam situasi seperti itu bolehkah penganten menjama’ shalatnya ? apakah kesulitkan memberi make up pada kedua penganten dapat dianggap sebagai salah satu rukhshah syar’iyah (keringanan yang dibolehkan syari’at )?
Pembahasan
Menjama’ shalat dibolehkan bagi orang yang dalam perjalanan (musafir) berdasarkan hadis-hadis Nabi Muhammad,s.a.w, diantaranya:
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان في غزوة تبوك إذا إرتحل قبل أن تزيغ السمش أخر الظهر حتى يجمعها إلى العصر فصليهما جميعا وإذا إرتحل بعد زيغ السمش صلى الظهر والعصر جميعا ثم سار, وكان إذا إرتحل قبل المغرب أخر المغرب حتى يصليها مع العشاء وإذا إرتحل بعد المغرب عجل العشاء فصلاها مع المغرب (رواه أبو داود )
Artinya:” Sesungguhnya nabi Muhammad,s.a.w ketika perang Tabuk, jika beliau melakukan perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat zuhur sehingga dijama’ (digabungkan) dengan ashar pada waktu ashar, jika melakukan perjalanan setelah matahari tergelincir, beliau mendirikan shalat zuhur digabungkan (dijama’) dengan ashar pada waktu zuhur; jika melakukan perjalanan sebelum waktu magrib, beliau mengakhirkan magrib sehingga dijama’ dengan isya pada waktu isya, bila bepergian setelah masuk waktu magrib, beliau menjama’ magrib dengan isya dilakukan pada waktu magrib.(Riwayat Abu Daud).
Berdasarkan hadis di atas dapat diketahui bahwa shalat yang boleh dijama’ adalah zuhur dengan ashar, maghrib dengan isya. Bila zhalat zuhur dijama’ dengan asar pada waktu asar disebut jama’ ta’khir; bila shalat asar dijama’ dengan zuhur dan dilakukan pada waktu zuhur, disebut jama’ taqdim. Adapun shalat subuh, tidak boleh dijama’ dengan yang shalat yang lain, tetapi mesti dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan. Abdurrahman al-Jazairy menjelaskan dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-arba’ah halaman 483, vol:I, dia berkata:
أما الصبح فإنه لا يصح فيه الجمع على إي حال
Artinya: adapun shalat subuh tidak dapat dijama’ dengan shalat apapun dalam keadaan bagaimanapun
Hadis dari Ibnu Abbas, r.a. yang diriwayatkan oleh imam Muslim:
جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف و لا مطر , وفي حديث وكيع قال : قلت لابن عباس لم فعل ذلك ؟ قال: كي لا يحرج أمته وفي حديث أبي معاوية قيل لابن عباس :ما أراد ذلك ؟ قال : أراد أن لا يحرج أمته (رواه مسام)
Artinya:” Rasulullah, s.a.w menjama’ antara shalat zuhur dan ashar, antara shalat magrib dan isya di Madinah tanpa ada rasa takut dan tidak pula hujan lebat, dalam hadis dari Waki’ dikatakan bahwa Ibnu Abbas ditanya : mengapa Nabi melakukan hal itu? Ibnu Abbas menjawab: agar tidak menyusahkan umatnya. Dalam riwayat Abi Mu’awiyah diberitakan bahwa Ibnu Abbas ditanya: apa maksud nabi melakukan hal itu? Ibnu Abbas menjawab: Nabi bermaksud agar tidak menyulitkan umatnya (Riwayat Muslim).
Berdasarkan hadis ini dapat diketahui bahwa menjama’ shalat tidak hanya dibolehkan bagi musafir, tetapi orang yang menetap di suatu daerah (muqim) dibolehkan juga menjama’ shalatnya. Kareana nabi menjama’ shalat ketika menetap di Madinah tanpa ada uzur /halangan, tanpa ada rasa takut, atau hujan lebat. Dalam hadis riwayat at-Turmudzi disebutkan ungkapan “bila khaufin wa La maradhin wa La mathor” (tanpa ada rasa takut, tidak sakit dan tidak hujan lebat). Namun hadis ini dinilai tidak shahih oleh imam at-Turmudzi dalam komentarnya dia menyebut satu hadis lagi “ siapa yang menjama’ shalat tanpa ada uzur/ halangan seperti sakit, takut dan hujan lebat, sungguh dia telah menlakukan suatu dosa besar “ (man jama’a ash-shalat bighairi uzurin wa la maradhin wa la khaufin fa qod ata baban min abwabil kaba-ir).
Oleh sebab itu para ulama sepakat berpendapat bahwa orang muqim boleh menjama’ shalat bila ada uzur syar’iy (halangan yang dibenarkan oleh syari’at) seperti sakit, hujan lebat, rasa takut.
Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa jilid XXIV hslsmsn 20 menyatakan:
فالاحاديث كلها تدل على أنه جمع قي الوقت الواحد لرفع الحرج عن أمته فيباح الجمع لإذا كان في تركه حرج قد رفعه الله عن أمته وذلك يدل على الجمع للمرض الذي يحرج صاحبه بتفريق الصلاة بطريق الاولى والاخرى , و يجمع من لا يمكنه إكمال الطهارة في الوقتين إلا بحرج كالمستحاضة وأمثال ذلك من الصور
وإن الجمع ليس من سنة السفر بل يفعله للحاجة سواء كان في السفر أو في الحضر فإنه قد جمع أيضا لئلا يحرج أمته
Artinya: Semua hadis tentang menjama’ shalat menunjukkan bahwa nabi Muhammad.s.a.w menjama’ shalat di dalam satu waktu dengan tujuan menghilangkan kesulitan dari umatnya. Jadi, menjama’ dua shalat itu dibolehkan bila dengan tidak menjama’ mengakibatkan kesulitan bagi umatnya, padahal kesulitan itu telah diangkatkan oleh Allah. Hal ini berarti, orang sakit yang mengalami kesulitan bersuci pada setiap waktu .bila tidak menjama’ shalat nya, maka dia boleh menjama’ shalat walaupun tidak dalam perjalanan (musafir) seperti perempuan yang mengalami keluar darah istihadhoh, dsb. Sesungguhnya menjama’ shalat bukan hanya sunnah bagi musafir saja, tetapi dilakukan karena ada kebutuhan penting(mendesak) , baik ketika sedang safar maupun ketika menetap di suatu daerah (muqim). Nabi Muhammad,s.a.w telah melakukan hal itu adar tidak menyusuahkan umatnya.
Berdasarkan hadis-hadis tentang menjama’ shalat dpat dikatakan bahwa ‘illat (alasan rasional) dibolehkannya menjama’ adalah karena adanya kesulitan. Bila ada kesulitan , maka dia sana boleh dilakukan menjama’ shalat walaupun tidak dalam perjalanan. Abu bakar al-Jazairi mengatakan: ‘Illat dibolehkannya jama’ karena da kesulitan, dimana ada kesulitan, boleh menjama’ dua shalat dalam satu waktu :
علة الجمع هي المشقة فمتى حصلت المشقة جاز الجمع
Penganten yang sedang bersanding saat pesta perkawinan tidak dibolehkan menjama’ shalatnya, karena pesta perkawinan tidak termasuk uzur syar’iy (alasan yang dibolehkan menurut syari’at) seperti karena sakit, hujan lebat, angin puting beliung. Apalagi kalau diperhatikan banyaknya tradisi pesta perkawinan yang keluar dari aturan syari’at seperti mempertontonkan aurat wanita, baik penganten perempuannya ketika bermake up atau saat bersanding mengenakan gaun yang tipis dan merangsang, berfoto berdua seperti suami-isteri pra nikah yang pamerkan, atau penyanyi wanita yang tampil dalam pesta itu dengan pakaian yang tidak sopan, lagu-lagu yang ditampilkan juga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini bertentangan dengan surat al-Ahazab; 33; “..Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu”.
Nabi bersabda seperti diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban:
من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا لعذر
Artinya:” Siapa saja yang mendengar seruan azan, tetapi dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bila ada uzur (halangan syar’iy).
Menjama’ shalat merupakan keringanan (rukhshoh) yang diberikan Allah dan rasulnya, keringan itu tidak boleh diberikan kepada perbuatan maksiat, sesuai dengan kaedah:
الرخصة لا تناط بالمعاصى
Artinya; Keringanan (rukhshoh) tidak boleh dilekatkan pada hal-hal yang maksiat.
Kesimpulan: Penganten tidak boleh menjama’ shalatnya.
لا يجوز جمع الصلاوات لكون أحد عروشا
Komentar
Posting Komentar