PRILAKU PEMILIH 2014

Sebentar lagi perhelatan akbar “Pesta Demokrasi Rakyat Indonesia yaitu Pemilihan Umum berlangsung, tepatnya pada hari Rabu, tanggal 09 April 2014. Dalam hitungan yang hanya tinggal beberapa bulan ini , seakan terasa sepi-senyap dan glamour ajakan untuk memilih calon dari Calon Legislatif yang ada, sepertinya disengaja oleh semua calon jika suara rakyat di

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana agar pemilu 2014 yang dilaksanakan tidak sekadar formalitas-prosedur demokrasi, tapi lebih dari itu, mempunyai makna untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak ada jawaban tunggal tentang hal ini. Namun salah satu elemen penting yang bisa dijadikan jawaban adalah mendorong pemilih untuk lebih cerdas dalam menentukan pilihannya. Lalu, bagaimana menjadi pemilih yang cerdas? Sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita membuat pemetaan kecil tentang perilaku pemilih dalam menentukan pilihan atas seorang calon. Kalau mau mengkaji secara ilmu politik, secara garis besar perilaku pemilih (political behaviour), setidaknya dapat dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu:

Pertama, penentuan pilihan karena kasamaan ideologi dengan kandidat. Namun, dalam kehidupan berbangsa sekarang dengan banyaknya politik aliran yang semakin menjamur, ideologi agaknya tidak lagi menjadi faktor determinan, di samping untuk mencari garis persamaan ideologis sekarang ini juga bukan hal mudah karena arus pragmatisme politik yang demikian kuat.

Kedua, pilihan didasarkan pada afiliasi partai politik. calon yang didukung partai politik pilihannya, kepada dialah pilihan dijatuhkan. Pemilih yang berperilaku seperti ini agaknya lebih sedikit, sehingga para calon hanya  berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh dukungan dengan menjual komitmen ppribadi tanpa alas partai, sehingga timbul stigma, partai tak penting yang utama siapa calonnya.

Ketiga, pilihan karena kesamaan etnisitas (gaps golongan- rasa kedaerahan). Banyak yang mengasumsikan, etnisitas akan turut menentukan pilihan politik seseorang, meski etnisitas ikut menentukan, tapi dalam Pemilu tidak terlalu signifikan menentukan perolehan suara.

Keempat, pilihan didasarkan pada pragmatisme politik. Pragmatisme ini bisa muncul karena banyak hal, seperti money politic, kedekatan dengan kandidat, hubungan keluarga, abdi dalam pekerjaan dan sebagainya. Money politic dalam berbagai bentuk manifestasinya, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pragmatisme politik. Money politic sebagai bentuk pragmatisme politik tidak selalu dalam arti pemberian sejumlah uang kepada pemilih, tapi bisa dalam bentuk-bentuk yang agak soft agar tidak dikesankan "membeli" suara. Tidak disangsikan lagi bahwa pemilih dalam Pemilu banyak yang menempuh cara ini untuk menentukan pilihan, dan cara ini sangat ampuh untuk meraup suara.

Kelima, pilihan karena program dan integritas calon. Pemilih cerdas yang rasional biasanya melihat sisi ini. Kita tahu bahwa tidak banyak pemilih yang menggunakan hal ini sebagai pertimbangan utama untuk menentukan pilihan. Memang dimungkinkan, pilihan ditentukan juga karena kombinasi dan perpaduan dari beberapa unsur di atas, namun pemilih yang cerdas seharusnya didasarkan pada rekam jejak kandidat, integritas, keahlian, dan program yang ditawarkan.

Pesimisme masa depan dan janji kampanye yang sekadar isapan jempol akhirnya mendorong pemilih menjadi pragmatis. Belum lagi adanya anggapan, siapa pun yang berkuasa dan duduk di kursi legislative tidak akan mampu melakukan perubahan signifikan. Meski demikian, ruang kecerdasan dan akal sehat tetap harus dipelihara dalam Pemilu 2014.


Persepsi dari tulisan ini adalah bagaimana menggeser pola pikir berdasarkan pemikiran pragmatis yang menjangkiti mayoritas masyarakat pemilih menjadi pemilih cerdas yang rasional. Secara tataran teori ilmu politik, belum luaslah mengemukakan tentang konsep pemilih pragmatis dan pemilih cerdas yang rasional dan masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Tapi dalam konteks ini secara praktis akan memberikan pengertian berdasarkan fenomena yang menjadi gejala pada setiap perhelatan politik bahwa pemilih pragmatis adalah pemilih yang menggunakan pendekatan materi jangka pendek dalam menentukan pilihan. Sedangkan pemilih rasional adalah pemilih yang menggunakan pendekatan berbasis informasi dengan tujuan-tujuan jangka panjang. Informasi ini bisa berbasis ideologis, ketokohan calon, visi-misi calon dan kriteria calon menurut sudut pandang pemilih atau bahkan kritisme pemilih kepada para calon yang ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tujuan, Manfaat, dan Sasaran Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Profil Syekh Haji Abdul Ghani el Kholidi

Fakhrul Kamal, Prakarsai Musyawarah Pengurus MK2DT Wilayah I & II Kecamatan Tapung